Yang Baru dari Kriteria Kelulusan SMA 2011

Penulis: B. Singgih Prasetyo

Loyola, Semarang – Pada tahun ajaran 2010-2011 terjadi perubahan kriteria kelulusan untuk semua tingkatan satuan pendidikan. Perubahan tersebut dipicu oleh banyaknya kritik tentang standar kelulusan tahun sebelumnya. Hal ini sebagai salah satu bentuk evaluasi dari pemerintah mengenai kriteria kelulusan yang menjadi banyak sorotan. Dalam sosialisasi Badan Standar  Nasional Pendidikan (BSNP) tentang standar kelulusan, perubahan ini didasarkan pada kondisi sekolah yang bervariasi satu dengan lainnya, masukan konstruktif dari pemangku kepentingan, kriteria kelulusan harus mengacu pada penilaian guru, ujian sekolah, dan ujian nasional. Tujuannya adalah untuk mengadopsi masukan dan menjadikan perubahan standar kelulusan yang lebih baik.

Perubahan yang mendasar tentang kriteria kelulusan terutama untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah kelulusan peserta didik dinyatakan lulus ujian sekolah apabila lulus dalam ujian sekolah, ujian nasional, dan kelulusan yang ditentukan satuan pendidikan.  Perubahan yang paling khas dari ketiga hal tersebut adalah tambahan nilai rapor dari semester 3, 4, dan 5 yang menjadi bobot dalam kriteria kelulusan tahun ini. Perubahan ini mencerminkan proses peserta didik selama menempuh pendidikannya karena kelulusan tidak ditentukan di akhir saja. “Ujian Nasional tidak utama dalam menentukan kelulusan tetapi hanya sebagai bagian dari proses yang lain”, ujar Kepala SMA Kolese Loyola, Pater Winandoko, SJ. Beliau juga menambahkan bahwa pemberitahuan kriteria kelulusan ini mendadak dan berdampak pada siswa kelas XI yang tahun depan menginjak kelas XII. Menurut beliau peraturan ini lebih baik dilaksanakan 2 tahun kemudian ketika peserta didik dan pihak sekolah mempersiapkan kriteria ini karena nilai penentuan kelulusan dimulai pada semester 3, 4, dan 5.

Kriteria kelulusan yang sudah memperhitungkan nilai sekolah pernah diberlakukan pada beberapa tahun yang lalu. Menurut Bapak Edi Asmanto selaku Wakil Kepala Sekolah Bagian Kurikulum SMA Kolese Loyola, kriteria kelulusan ini diberlakukan pada tahun 1980 – 1990an. Secara detil, Ibu Julia Tampubolon (Guru Biologi) menjelaskan kriteria kelulusan memperhitungkan nilai sekolah. Perhitungannya adalah sebagai berikut, nilai rapor semester 5 (sebagai p), semester 6 (sebagai q), dan hasil ujian (sebagai r). Kelulusan ini ditentukan dengan menjumlah p, q, dan r kemudian dibagi 3 dan nilai tersebut di atas 5,5. Secara tidak langsung, kriteria ini sudah memperhitungkan proses belajar siswa.

Banyak pihak yang menilai positif kriteria kelulusan tahun ajaran 2010-2011, seperti yang diungkapakan oleh Bapak Sarwanto (Guru Matematika). Kriteria kelulusan ini selain memperhatikan proses pendidikan di sekolah juga dapat mengurangi gejolah sosial di masyarakat. Keragaman dan luasnya wilayah Bangsa Indonesia menjadikan tingkat kecerdasan siswa antar daerah pun berbeda. Pembangunan yang masih kurang merata pun menjadi penyebab ketidaksamaan kecerdasan siswa. Kota-kota besar dengan fasilitas lengkap dapat mempermudah siswa-siswi untuk mencari ilmu pengetahuan. Berbeda halnya dengan daerah-daerah terpencil yang belum mempunyai fasilitas selengkap kota-kota besar. Siswa masih mengandalkan guru dan buku pelajaran untuk belajar. Pemberlakuan kriteria kelulusan ini paling tidak menjadi jembatan bagi sekolah-sekolah daerah terpencil untuk ikut serta menentukan kelulusan peserta didiknya sesuai dengan daerahnya masing-masing.

Di samping itu, siswa juga diuntungkan dengan pemberlakuan kriteria kelulusan ini. “Sistem ini lebih fair, jika ada siswa yang selama proses belajar di sekolah berprestasi dan mendapat nilai baik, namun pada saat Ujian Nasional karena situasi tertentu yang membuat nilainya tidak optimal, dia masih bisa lulus karena salah satu indikator kelulusan nilai rapor”, ujar Vanessa Arninda Sihite siswa kelas XII. Senada dengan hal itu, Jane Tedjajuana siswa kelas XII mengungkapkan, kelulusan tidak hanya ditentukan keberuntungan dalam Ujian Nasional, melainkan cerminan kerja keras selama belajar di SMA. Secara tidak langsung proses pembelajaran lebih dihargai dengan adanya sistem ini. Selain itu, Ujian Nasional bukan lagi menjadi “momok” yang menakutkan bagi siswa dan penentuan akhir kelulusan siswa.

Di sisi lain, masih ada hal negatif seperti adanya hitam dan putih suatu hal. Sisi negatif dari pemberlakuan kriteria kelulusan ini adalah indikasi-indikasi tentang manipulasi data nilai rapor pun bisa terjadi. “Hal ini dimungkinkan ada pendongkrakan nilai sebelum ujian terutama nilai rapor”, ujar Ibu Y. Lestari (Guru Ekonomi). Kasus-kasus ini muncul karena ketakutan-ketakutan sekolah pinggiran jika nilai peserta didiknya tidak maksimal pada saat Ujian Nasional. Ketakutan juga muncul jika banyak yang tidak lulus dan image sekolah tersebut menjadi buruk di tengah masyarakat.

Dilihat dari segi administrasi, harus sangat teliti agar nilai rapor (yang sebagai salah satu indikator kelulusan siswa) tidak salah ketik atau salah memasukkan data. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Bapak Eka Sujatmanta, Wakil Kepala Bagian Sarana dan Prasarana SMA Kolese Loyola, “Administrasi pemberlakuan sistem ini kurang simple”. Jika administrasi untuk input data nilai rapor dari sekolah salah maka akan berakibat fatal. Begitu juga jika nilai ini tertukar dengan nilai sekolah lain pada saat input nilai di Dinas Pendidikan dapat berkibat fatal. Jadi perlu ketelitian dan kehati-hatian untuk menjalankan sistem ini.

Tidak ada sebuah sistem yang dapat berjalan dengan baik tanpa adanya kedisiplinan dan kejujuran pelaksana sistem tersebut. SMA Kolese Loyola merupakan SMA di bawah naungan Romo-Romo Jesuit yang menjunjung tinggi azas kejujuran dan kedisiplinan dengan bertumpu pada spiritualitas Ignasian menerapkan sistem ini dengan sebaik-baiknya. Semoga perubahan kriteria kelulusan ini menjadi permulaan perbaikan yang lebih tepat konteks dalam pendidikan di Indonesia dan demi kemuliaan Allah yang lebih besar.

Ad Maiorem Dei Gloriam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *